Pil pahit berupa
perceraian harus anda tenggak bersama pasangan.
Sebelum melangkah
lebih jauh, pahami dulu hak dan kewajiban
Saat memutuskan
berpisah.
Perjanjian Pra Nikah
Kesepakatan calaon suami dan calon istri yang di buat
sebelum atau pada saat perkawinan berlangsung. Meski tak bisa mencegah
percerian,prenuptial agreement penting
untuk mengantisipasi masalah masalah yang mungkin terjadi saat perceraian.
Misalnya, untuk memastikan hak dan kewajiban yang harus di penuhi jika terjadi
perceraian.
Perjanjian pranikah memang dilematis karena memiliki sisi
negative. Bisa di lihat sebagai bentuk ketidak percayaan, membutuhkan biaya
notaries, bisa memuat klausul yang tidak berimbang jika salah satu pihak dalam
kondisi lemah atau tidak terlalu paham hukum perkawinan.
Tapi, sisi positipnya pun menguntungkan. Kedua belah pihak
bisa mengatur secara rinci segala kesepakatan, sehingga potensi keributan bisa
di antisipasi. Selain itu, perjanjian ini melindungi kekayaan salah satu pihak.
Termasuk harta bawaan, lalu melindungi salah satu pasangan dari resiko dibebani
utang atau kewajiban tertentu, dan menjamin WNI pelaku perkawinan antar Negara
dengan setatus hak milik atas asset asset bersama ketika saat terjadi
perceraian.
Memenuhi Syarat
Sesuai pasal 38 UU perkawinan, perkawinan dapat putus karena
kematian, perceraian, dan atas putusan pengadilan. Tapi bercerai menurut hukum
Negara tak semudah yang dibayangkan. Pasalnya, pasangan suami istri perlu
memenuhi syarat syarat yang di uji di pengadilan.
Perceraian tak semata timbul karena cekcok atau
ketidakcocokan. Hal yang paling prinsipil adalah alas an. Pemohon cerai harus
bisa mengajukan alasan rasional,
sehingga perceraian di mungkinkan. Bagi yang beragama islam, alasan perceraian
dirinci dalam kompilasi hukum islam dalam pasal 116.
Alasan tersebut diantaranya, berbuat zinah, dihukum pidana 5
tahun atau lebih, meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut turut tanpa
alasan yang sah, mendapat cacat badan atau penyakit berakibat tidak bisa menjalankan
kewajiban sebagai suami istri, dan terjadi perselisihan serta pertengkaran,
sehingga tidak ada harapan untuk rukun lagi.
Khusus pegawai negri sipill, sesuai peraturan pemerintah
no,10 tahun 1983, perceraian baru bisa dilakukan jika sudah mendapatkan izin
dari atasan. Hakimlah yang akan menguji apakah alsan alasan untuk bercerai
tersebut sudah memenuhi syarat.
Pembagian Harta
Umunya, harta dalam perkawinan di bedakan menjadi harta
bersama dan harta bawaan. Harta bersama adalah, harta yang di peroleh selama
dalam ikatan perkawinan. Sebaliknya, harta yang di peroleh sebelum pernikahan
berlangsung termasuk kategori harta bawaan. Misal, harta yang berasal dari
warisan, hibah, atau hadiah.
Pasal 119 KUH perdata juga menyebutkan, harta kekayaan suami
dan istri menjadi kesatuan sejak perkawinan di langsungkan. Hal ini juga di
singgung dalam pasal 35 KUH no. 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Yaitu, harta benda yang di peroleh selama perkawinan menjadi
harta bersama. Harta bawaan dari masing masing suami dan istri serta harta
benda yang di peroleh sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan
masing masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Artinya, masing masing suami istri menguasai harta bawaan
tersebut. Sehingga, pemilik harta berhak melakukan apa pun. Misalnya,menjual
atau menggadaikanya. Tapi, pasal 35 ayat 2 UU perkawinan juga menyebutkan
frasa, sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Jadi, kalau dalam perjanjian pranikah, kedua blah pihak
sepakat mencampurkan harta bawaan menjadi harta bersama. Maka harta bawaan itu
menjadi milik bersama suami istri.
Harta bersama akan dibagi saat terjadi perceraian atau
perkawinan putus. Harta bawaan lain lagi. Prihal inilah yang kerap membuat
pasangan yang hendak bercerai sering cecok. Lebih karena ketidak jelasan mana
harta bawaan si A dan si B. Maka, sejak awal perlu di tegaskan atau di
bicarakan kedua belah pihak mengenai apa yang menjadi harta bawaan.
Utamakan Anak
Hak lain berkaitan dengan perceraian adalah hak asuh anak
dan hak istri mendapatkan nafkah dari suami kepada istri dan anak anaknya.
Pasal 41 UU perkawinan telah mengaturhal ini. Jadi, meski terjadi perceraian,
ibu atau bapak tetap berkewajiban mengasuh, menjaga, melindungi, dan mendidik
anak anaknya. UU perlindungan anak juga
menegaskan kepentingan terbaik si anak yang harus di kedepankan.
Hak pengasuhan biasanya dilihat berdasarkan kepentingan riil
anak. Anak yang masih bayi ( belum berumur dua tahun), secara medis, akan lebih
baik di asuh ibu karena masih dalam tahap menyusui. Kompilasi hukum islam menyebut
terhadap anak yang belum berumur 12 tahun, maka hak pemeliharaan ada di pihak
ibu.
Namun hakimlah yang menentukan berdasarkan realitas dan
fakta di lapangan. Kalau dalam pemerikasaan, misalnya, terungkap si ibu pemabuk
atau penghasilanya tidak jelas ada kemungkinan hakim menyarankan hal asuh
kepada suami.
Hak Kewajiban
Saat bercerai, setiap pasangan harus mengarisbawahi akibat hukum
dari perceraian. Perceraian menimbulkan hak dan kewajiban kepada masing masing
pihak’
Sayangnya, perceraian tak di imbangi pengetahuan pasangan
tentang hak istri atau suami. Salah satu penyebabnya,, budaya yang masih
menempatkan istri tak sederajat dengan suami atau enggan mempersoalkan hak
karena tak ingin terjebak dalam proses hukum yang lama.
Padahal, anda bisa berkonsultasi dengan pengacara atau
dengan orang yang lebih memahami hukum perkawinan. Misalnya, jika terjadi
perceraian (cerai talak atau cerai gugat) suami dan istri berhak atas harta bersama
sesuai pembagian proporsional. Masing masing juga mempunyai kewenangan penuh
untuk mengurus kembali harta bawaan.
=SEKIAN
DAN TERIMAKASIH=
0 komentar:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung di blog ini,berkomentarlah dengan sopan.