Dalam UU perkawinan memang telah di tegaskan tak mengatur
hak asuh anak. Hanya saja, jika terjadi pertikaian, maka pengasuhan anak bisa
diselesaikan di pengadilan. Dalam praktik, biasanya hak asuh anak anak di bawah
usia 12 tahun di berikan kepada ibu dengan dibuktikan terlebih dulu bahwa ia
mampu mengasuh anaknya. Ibu tidak dalam kondisi sakit jiwa atau hal hal yang
merugikan anak. Dalam kompilasi hukum islam intruksi presiden NO.1 tahun 1990
dinyatakan. Hak asuh anak dibawah usia12 tahun ada pada ibu. Jika ibu meninggal
atau sakit, maka keturunan dari ibulah yang akan mengasunya. Jadi, Undang Undang
perkawinan jauh beda dengan kompilasi hukum islam.
Menyinggung banyaknya hak asuh anak yang jauh ketangan ibu
di pengadilan agama, itu terjadi karena keiklasan suami. Hal ini bisa di temui
di pengadilan agama Jakarta selatan dan diakui oleh petugas disana. Kalau pun
terjadi hak asuh anak jatuh ketangan seorang ayah, itu karena beberapa hal.
Misalnya, ketika putus cerai terjadi, sang ibu ternyata kembali lagi ke
keyakinan yang semula sebelum dia menikah, karena anak anak tak ingin pindah
keyakinan, akhirnya ayah memegang hak asuh mereka.
Meski UU perkawinan tidak menetapkan hak asuh anak bagi
pasangan suami istri yang cerai, namun di pengadilan tak jarang menimbulkan
masalah. Dengan egonya masing masing, mereka sibuk memperebutkan hak asuh
anaknya. Hukum komplikasi islam menjelaskan, ibu layak memperoleh hak asuh anak
dibawah usia 12 tahun. Namun masih banyak anak dibawah usia tersebut yang hak
asuhnya jatuh ketangan ayah. Mengapa demikian ?
MENURUT ISLAM
Dalam pandangan islam, hak asuh anak yang masih menyusui
dibawah dua tahun, sebaiknya diberikan kepada ibu. Jika lebih dari dua tahun,
hak asuh di putuskan pihak pengadilan. Sebaiknya, siapa yang berhak mendapatkan
hak asuh adalah pihak yang memiliki waktu luang dalam mengasuh anak serta
finansial yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan hidup si anak. Namun, jika
hal itu tidak di sepakati maka proses pengadilan sebagai solusinya ujar,
Prof.Dr. Umar Shihab.
Guru besar Universitas Islam Negri Salahudin, makasar, ini
menambahkan, sebelum pengadilan menetapkan perkara perceraian, sebaiknya wakil
wakil dari pihak yang bertikai mendiskusikan jalan perdamaian. Namun jika si
penengah yang hadir tidak bisa meredam keinginan bercerai dari pasangan suami istri,
maka hakim yang memutuskan. Keputusan hakim dalam islam harus melihat dua hal,
adat kebiasaan suatu daerah dan latar belakang. Kedua hal ini telah di tetapkan
dalam kaidah ushul figh yang mengatakan, hokum itu meliputi latar belakang
peristiwa. Ketetapan hukum harus dilihat dari latar belakang (‘ilad) mengapa
suatu perceraian terjadi. Poin inilah nantinya akan menentukan si anak akan di
asuh oleh ibu atau ayahnya.
Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI). Ini juga
mengingatkan akan hak hak anak agar jangan sampai terabaikan ketika terjadi
perceraian. Al Quran telah mengingatkan, jangan pernah menyia nyiakan anak.
Jadi orang tua mempunyai tanggung jawab untuk menjadikan anaknya pandai,
beragama, hingga ia menikah nantinya. Jika ada seorang ayah tidak mempunyai
tanggung jawab terhadap anaknya maka ia telah melakukan dosa besar, jelasnya.
MENURUT KRISTEN
Dalam agama Kristen, perceraian sangat tidak diperbolekan.
Berdasarkan patokan patokan moral seperti yang di urai oleh Pdt. Rufy Waney,
dalam Kristen tak ada perceraian maupun pernikahan lagi, kalaupun ada
perceraian, hanya karena dipisahkan oleh kematian, yang berarti bisa terjadi
pernikahan lagi. Karena tak mengenal perceraian maka pengasuhan anak anak yang
orang tuanya bercerai pun tak pernah diatur. Hanya saja, jika memang perceraian
tak bisa di bendung lagi, keluarga diajak diskusi untuk menentukan bagaimana
kedudukan sianak. Ikut ayah atau ikut ibu, “ tapi kalau minta persetujuan
gereja, maka gereja akan menetapkan pengasuhan anak pada orang tua, “ ujar Pdt
Rufy.
Kenyataannya, dalam masyarakat kita penetapan hak pengasuhan
anak sangat ditentukan oleh dominasi
adat yang dipegang oleh kedua pasangan suami
istri. Jika pasangan didominasi adat minang, maka ibu dan keluarga
ubulah yang berhak mengasuh anak anak tersebut. Namun, jika didominasi adat ayah
seperti pad suku tapanuli, maka anak biasanya ikut ayah dan keluarga ayah. Jika
kedua pasangan tetap bersitegang memiliki hak asuh anak, maka yang biasa
dilakukan adalah menanyakan lebih dulu, siapa di antara pasangan suami istri
yang mampu secara pisik dan psikis mengasuh anak. Jika secara fisik dan psikis
ayah tak mampu, lebih baik serahkan saja ke ibu.
Lebih jauh, Pdt. Rufy menjelaskan, bahea anak anak yang
orangtuanya bercerai akan mengalami ganguan emosi ( emotional disturbances).
Penyebabnya, yaitu perasaan tak di cintai (feeling of being unloved, merasa
tidak diurus atau tidak dipedulikan dan tidak di hargai. Anak juga akan
kehilangan orang tua yang di akibatkan perceraian dan kematian yang tiba tiba.
=SEKIAN DAN TERIMAKASIH=
0 komentar:
Post a Comment
terima kasih telah berkunjung di blog ini,berkomentarlah dengan sopan.